PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA UJARAN KEBENCIAN DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG ITE, UNDANG-UNDANG HAM, DAN UNDANG-UNDANG KEBEBASAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
Abstract
Aturan hukum yang harus dikedepankan, peneliti harus mempertimbangkan konteks hukum yang paling relevan dengan esensi ujaran kebencian. Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik cenderung digunakan dalam kasus ini karena secara spesifik mengatur ujaran kebencian di ruang digital, yang sering menjadi medium utama untuk penyebaran ujaran kebencian di era modern. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, seperti Pasal 28 ayat (2), mengatur larangan menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berbasis SARA. Namun, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan kerangka yang lebih luas, yakni memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi tetap dijaga, selama tidak melanggar hak orang lain. Sementara itu, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan jaminan terhadap ekspresi di ruang publik, dengan beberapa pembatasan demi menjaga ketertiban umum. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan hukum Sanksi terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Dan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum bahwa g-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, memberikan landasan hukum bagi penindakan ujaran kebencian yang disampaikan melalui media elektronik. Pasal 28 ayat (2) g-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, melarang tindakan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Pelanggaran ini dapat dikenai sanksi pidana berupa hukuman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemerintah berupaya memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari dampak negatif penyebaran ujaran kebencian di dunia maya. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan perspektif bahwa setiap individu memiliki hak untuk tidak didiskriminasi dan untuk hidup damai tanpa adanya ancaman. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia, yang menjadi landasan perlindungan terhadap korban ujaran kebencian. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengimbau agar penegakan hukum dilakukan dengan tetap menghormati hak asasi manusia, termasuk hak terdakwa untuk diperlakukan secara adil. Sementara itu, Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum memberikan jaminan konstitusional terhadap kebebasan berekspresi. Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut, karena Pasal 6 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum tersebut mengatur bahwa hak menyampaikan pendapat harus dilaksanakan dengan memperhatikan hak asasi manusia orang lain, moral, dan ketertiban umum. Dengan demikian, ujaran kebencian yang melanggar batas ini tidak dapat dibenarkan. Penyelesaian Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Ujaran Kebencian Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Dan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum bahwa penyelesaian hukum terhadap pelaku tindak pidana ujaran kebencian mengacu pada asas keadilan, efektivitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam praktiknya, pendekatan ini melibatkan beberapa mekanisme, termasuk langkah preventif, mediasi, hingga proses hukum formal. Langkah preventif dapat dilakukan melalui edukasi masyarakat terkait dampak ujaran kebencian serta peningkatan literasi digital untuk mencegah penyebaran konten yang melanggar hukum. Pendekatan ini bertujuan menciptakan kesadaran kolektif bahwa ujaran kebencian dapat merusak harmoni sosial. Ketika ujaran kebencian telah terjadi, mekanisme mediasi dapat menjadi alternatif penyelesaian untuk menghindari eskalasi konflik. Mediasi ini, jika memungkinkan, dapat menyelesaikan masalah tanpa harus melalui proses peradilan. Namun, untuk kasus-kasus dengan dampak serius atau melibatkan kepentingan publik, proses hukum formal menjadi langkah yang tidak dapat dihindari. Dalam proses hukum formal, aparat penegak hukum diharapkan menerapkan ketentuan UU ITE dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang memadai, baik secara fisik maupun psikologis, selama proses hukum berlangsung.
Downloads
References
Anam, M. C., & Hafiz, M. (2015). SE Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) dalam kerangka hak asasi manusia. Jurnal Keamanan Nasional, 1(3).
Brison, S. J. (1998). The autonomy defense of free speech. Chicago Journals, The University of Chicago, 108(2).
DPR RI. (2017). Majalah Info Singkat Kesejahteraan Sosial, Vol. IX, No. 11/I/Puslit/Juni/2017. Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
Fadjar, A. M. (2013). Teori-teori hukum kontemporer. Malang: Setara Press.
Facebook. (2024). Hate speech topic discussion. Diakses pada 7 Desember 2024, pukul 18.39 WIB, dari http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=95182762229&topic=10190.
Indonesia. (1998). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2015). Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (t.t). Buku saku penanganan ujaran kebencian (hate speech). ttp: KOMNASHAM RI.
KOMNASHAM RI. (2015). Penanganan ujaran kebencian (hate speech). Jakarta: KOMNASHAM.
Prasetyo, T. (2012). Hukum pidana. Jakarta: Rajawali Press.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2003). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syahdeini, S. R. (2009). Kejahatan dan tindak pidana komputer. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Copyright (c) 2024 Hendra DM Hutagaol, Fahmi, Irawan Harahap

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.